Rabu, 15 Januari 2014

profil Hariman Siregar

Hariman Siregar lahir di Padangsidempuan, 1 Mei 1950 .
Kekerasan di Indonesia hanya bisa dirasakan, tidak untuk diungkap apalagi dituntaskan. Berita di media massa (cetak dan elektronik) hanya mengungkap fakta yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Masih ingat Peristiwa 15 Januari 1974 alias Malari (Malapetaka Lima Belas Januari)? Malari adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974 di Jakarta. Di hari kelabu itu, pusat pertokoan yang dikenal dengan Proyek Senen di Jakarta dibakar orang. Dalam peristiwa yang bisa dikatakan “hari anti Jepang” itu, lebih-kurang 807 buah mobil dan 200 sepeda motor dari berbagai merk Jepang dirusak/dibakar, 144 bangunan dirusak, 11 orang mati, 100 orang luka-luka, 17 luka parah, 775 orang ditangkap. Sebanyak 160 kilogram emas dari berbagai toko di daerah pecinan, mulai Senen sampai Glodok di Jakarta
Barat amblas digondol orang.
Peristiwa itu terjadi selama kunjungan tiga hari PM Jepang Kakuei Tanaka di Jakarta (14-17 Januari 1974). Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) Jan P Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi anti modal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan. Mahasiswa berencana memboikot kedatangannya di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara. Itu menggambarkan, situasi Kota Jakarta masih mencekam.
Sehari setelah tamu negara ini meninggalkan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma yang dijaga ketat oleh tentara, suasana panas mulai mereda. Tapi buntutnya cukup serius. Lima koran terkemuka dan dua majalah di Jakarta diberangus. Sejumlah tokoh, di antaranya Prof. Sarbini Sumawinata, Dorodjatun Kuntjoro Jakti, Buyung Nasution, Fahmi Idris, Subadio Sastrosatomo, Laksamana Muda Mardanus, Sjahrir, Rachman Tolleng, Hariman Siregar, ditahan. Hariman sendiri tidak sampai penuh menjalani vonis hukuman 6 tahun yang dijatuhkan atas dirinya.
Peristiwa Malari sesungguhnya dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Asisten pribadi (Aspri) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan teramat besar. Ada pula analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro-Ali Moertopo. Kecenderungan serupa juga tampak dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo).
Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Soeharto menghentikan Soemitro sebagai Pangkopkamtib, dan langsung mengambil alih jabatan itu. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala BAKIN Soetopo Juwono “didubeskan,” diganti Yoga Sugama.
Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 mencoreng kening, karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang. Malu yang tak tertahankan menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah.
Selanjutnya, ia amat selektif memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan kriteria “pernah jadi ajudan Presiden.” Segala upaya dijalankan untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental. Dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis.
Lalu, apa, siapa dan bagaimana peran Hariman Siregar pada peristiwa kelabu itu? Apa saja pikiran-pikirannya tentang demokrasi dan demokratisasi di Indonesia? Apa saja langkah-langkahnya dalam menegakkan demokrasi? Mari kita ulas jejak rekam dan sejarah perjuangannya. Hariman lahir di Padangsidempuan, Sumatera Utara, 1 Mei 1950. Hariman merupakan putera ke empat dari pasangan Kalisati Siregar dan ibunya yang bermarga Hutagalung. Sejak SD sampai Kuliah ia selesaikan di Jakarta. Putera pensiunan pegawai Departemen Perdagangan ini, pada tahun 1973 terpilih sebagai Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DEMA UI), di saat aksi di berbagai kampus meningkat. Pada tahun 1973, tercatat pula kegiatan demonstrasi memprotes kebijakan Orde Baru, yang dilakukan oleh salah satu tokoh mahasiswa, bernama Arif Budiman, dan kawan-kawan, dalam kasus pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Pembangunan ini menurut kelompok Arif Budiman tidak sesuai dengan situasi di Indonesia. Bagi mereka ini hanya proyek ambisius belaka. Gerakan mahasiswa yang dilancarkan Sejak Agustus 1973 tak lain untuk mengkritik strategi pembangunan yang sudah menyimpang dengan “cita-cita Orde Baru.”
Sekitar pertengahan 1973, bisa dikatakan pula sebagai tumbuhnya berbagai diskusi dan kelompok diskusi yang mengkritik strategi pembangunan pemerintah (Orde Baru), yang dianggap lebih banyak mengurusi angka pertumbuhan ekonomi ketimbang pemerataan sosial. Suatu Kebijakan pembangunan yang dianggap tidak populis dan hanya menguntungkan orang kaya/konglomerat saat itu. Suatu kritik yang memang sedang populer kala itu. Ekonom kondang Mahbubul Haq, asal Pakistan, yang memuji konsep pemerataan di RRC, bahkan menjadi buah bibir para mahasiswa dan ekonom di Indonesia.
Pada 24 Oktober 1973, di kampus Salemba ada lagi diskusi yang menghadirkan tokoh dari berbagai angkatan. Ada bekas Wali Kota Jakarta Sudiro, ada Menlu Adam Malik, tokoh pers B.M. Diah, tokoh ’66 Cosmas Batubara, sampai Ketua DMUI Hariman Siregar. Hasil diskusi inilah yang kemudian dibacakan di TMP Kalibata, lalu dikenal sebagai Petisi 24 Oktober.
Antara 1972–1973, Hariman Siregar sering mengikuti kegiatan mahasiswa seperti seminar dan kongres, di dalam maupun di luar negeri. Sejak 1972, Hariman sudah diangkat sebagai Sekjen Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia (IMKI) lewat kongres di Makassar. IMKI pada waktu itu adalah organisasi kemahasiswaan yang dekat dengan Golkar. Lewat jalur IMKI inilah Hubungan Hariman dengan Ali Moertopo terjalin. Dia juga sering tampil di berbagai forum yang dikunjungi Ali Moertopo.
“Saya diperkenalkan sebagai pemimpin masa depan,” kata Hariman, yang pernah memimpin Persija Selatan, dan kini menjabat sebagai Dokter Puskesmas. Tapi riwayat hubungan Hariman dengan Ali Moertopo tak berlangsung lama.
Ketika terpilih sebagai Ketua Dema, ia menolak permintaan agar Dema UI tak menyerang lagi soal strategi pembangunan yang merupakan produk Bappenas. Namun, Ada kelompok aktivis yang justru meminta Bappenas sebagai sasaran gerakan.
“Menjelang Oktober, sudah begitu banyak gerakan di luar. Saya pikir, saya harus konsolidasi dulu ke dalam kampus. Saya buat diskusi-diskusi,” ujar Hariman, yang saat itu baru berusia 23 tahun. Dengan dukungan konsep GDUI, Hariman berangkat ke berbagai kampus untuk menggalang massa. Akhirnya, Dema UI membuat kesepakatan dengan 10 kampus untuk bertemu Presiden Soeharto pada 26 Desember 1973. Mereka ingin menanyakan tentang strategi pembangunan RI yang dianggap timpang itu. Lusanya, Presiden ternyata bersedia menerima pimpinan mahasiswa dari berbagai kampus. Di luar dugaan, dalam pertemuan tertutup yang dihadiri Mensesneg Sudharmono, terlontar beberapa pertanyaan yang kasar dan menuding-nuding. “Saya jadi bingung,” kata Hariman.
Pak Harto, yang ketika itu tampak kalem, menutup pertemuan singkat itu dengan menyerahkan Buku RAPBN kepada mahasiswa. Tak berhenti sampai di situ, para mahasiswa pun ingin menyambut rencana kunjungan PM Tanaka dengan demonstrasi besar. Sebenarnya, ketika itu tuntutan DEMA UI untuk berdialog dengan PM Tanaka sudah diterima, dan dijadwalkan pada 15 Januari. Tapi, “Saya ditekan teman-teman dari seluruh Indonesia itu. Kalau datang, berarti pengkhianat. Akhirnya, dialog diganti demonstrasi jalanan,” cerita Hariman. Dia mengaku sangat bingung menerima desakan ini. “Saya stres,” kata Hariman. Pada pagi 15 Januari itu, dia sampai membuka bajunya yang dibasahi keringat. Dan, meledaklah malapetaka itu.
Demokrasi Dalam Pandangan Hariman Siregar
Bagi Hariman, demokrasi adalah bagaimana membangun partisipasi yang lebih luas dengan meruntuhkan oligarki dan feodalisme yang telah menginfiltrasi partai-partai politik sebagai instrumen pelanggeng kekuasaannya. Menurutnya, demokrasi jangan hanya sekedar prosedural seperti pemilu lima tahunan. dengan kata lain, Hariman ingin mengatakan bahwa demokrasi harus substansial. Dengan demikian, demokrasi memiliki dua tujuan. Pertama, menggerakkan partisiapasi yang lebih luas kepada rakyat untuk terlibat aktif dalam urusan bersama (publik).
Bukan saja berpartisipasi untuk memilih pemimpin, melainkan juga berpartisipasi untuk dipilih menjadi calon pemimpin. Kedua, adalah bagaimana memecahkan persoalan bersama (publik), termasuk suksesi kepemimpinan tanpa kekerasan. Beragam kepentingan yang ada dirembugkan, sejak rembug di tingkat kampung hingga ke level yang lebih tinggi. Jika rembugkan itu gagal mencapai konsensus baru dilakukan pemungutan suara. Lebih jauh lagi, Hariman ingin mengatakan bahwa demokrasi kita adalah musyawarah mufakat.

Pendidikan
SD di Jakarta (1961)
SMP di Jakarta (1964)
SMA di Jakarta(1967)
Fakultas Kedokteran UI (1977)
 Karier
Dokter Inpres di Puskesmas Rawajati, Jakarta Selatan (1977 – 1979)
Kepala Klinik Baruna (1989 – Sekarang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar