Ali Alatas Lebur dalam Sejarah ASEAN
Sore ini memang bukan pertama kalinya
Jakarta diguyur hujan seharian, namun suasana kelabu akibat mendung yang
menggantung terasa lain dari biasanya karena disertai wajah-wajah sendu
sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu dipimpin Menteri Luar Negeri
Hassan Wirayuda, yang sore itu khusus berada di ruang VIP terminal I-B
guna menyambut jenazah Ali Alatas.
Dilahirkan di Jakarta 76 tahun lalu,
penerima anugerah Bintang Mahaputra Adipradana itu akhirnya menutup mata
untuk selamanya di salah satu rumah sakit bergengsi di Singapura, saat
600an juta warga ASEAN hendak memulai aktivitasnya, pada pukul 07.30
waktu Singapura.
Selama puluhan tahun berkarir sebagai
diplomat ulung, ayah tiga anak itu melawat ke Singapura dengan setumpuk
agenda ASEAN di bahunya. Namun pada 24 Nopember 2008, dia terpaksa
dirujuk ke Singapura setelah menjalani perawatan di sebuah rumah sakit
di Jakarta sejak 20 Nopember 2008.
Ali Alatas tampak “lebih besar” dari Asia
Tenggara atau ASEAN, sementara kiprahnya di kancah internasional adalah
daftar panjang yang mungkin sulit ditandingi siapapun.
Ali Alatas telah malang melintang dalam
setiap komposisi tim diplomasi Indonesia untuk beragam acara –mulai PBB,
OKI, APEC, OPEC, sampai GNB– sejak 1960an hingga akhir hayatnya
manakala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempercayainya sebagai Ketua
Dewan Pertimbangan Presiden dan salah seorang anggota delegasi “kelompok
pakar” (EPG) Indonesia-Malaysia yang bertugas menghilangkan “kerikil”
dalam hubungan baik kedua negara serumpun itu.
Berbicara ASEAN tanpa menyebut Ali Alatas
bagai sayur tanpa garam, sehingga berita meninggalnya diplomat senior
Indonesia itu yang hanya empat hari menjelang pengesahan pemberlakukan
Piagam ASEAN pada 15 Desember 2008, meninggalkan kisah sedih bagi ASEAN.
Suatu kisah yang sedikit ironis mengingat
Ali tidak hanya tokoh kunci dibalik “reformasi” ASEAN dari organisasi
yang berbasis elite menjadi organisasi berbasis rakyat, namun juga saksi
sejarah panjang pembentukan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
itu.
Dalam perayaan hari ulang tahun ke-41
ASEAN 8 Agustus lalu, Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan dengan
penuh hormat memberikan potongan kue pertama kepada diplomat senior yang
mantan wartawan itu, diiringi tepukan tangan dan tatapan kagum para
diplomat muda Asia Tenggara yang memadati Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).
Bukan hanya karena Alex –panggilan
akrabnya– menghabiskan dua tahun terakhir menggodok embrio dari Piagam
ASEAN, suatu payung hukum yang telah dinantikan ASEAN selama 40 tahun
namun juga karena romantisme masa lalu yang tak dapat diingkari para
diplomat ASEAN.
Percaya atau tidak, Ali Alatas yang malam
itu empatpuluh tahun lalu mengenakan jas berwarna gelap didampingi
istri tercinta, juga hadir dalam kesempatan sama –untuk mendamping Menlu
Adam Malik– ketika lima menteri luar negeri ASEAN menandatangani
perjanjian bersejarah yang kemudian mengikat negara-negara Asia Tenggara
menjadi satu “keluarga besar” di Bangkok.
Puluhan diplomat muda dari 10 negara
ASEAN yang saling bersulang merayakan ulang tahun ASEAN boleh jadi tidak
pernah berpikir bahwa malam itu adalah ulang tahun terakhir ASEAN
bersama “sesepuh” ASEAN itu.
Semua pihak tentu masih berharap akan
terus dapat menikmati tidak hanya senyum Alex ketika bercanda dengan Hun
Lakorn Le (wayang Thailand) yang menggodanya dalam pegelaran seni “Best
of ASEAN Performing Arts II” itu, tapi juga nasihatnya untuk semua
kemelut di kawasan Asia Tenggara.
Bahwa di masa mendatang ASEAN tidak bisa
lagi bersandar pada ide-ide besar yang dimiliki pria kelahiran 4
November 1932 itu sudah tentu merupakan kehilangan besar bagi ASEAN
mengingat ASEAN akan memasuki “hidup baru” dengan Piagam ASEAN.
Tapi bahwa sebelum berpulang Ali Alatas
telah memberikan Piagam ASEAN sebagai “kado” terakhir yang menjadi
pondasi baru bagi para penerusnya dalam menjaga keutuhan “keluarga
besar,” sudah pasti itu satu bukti komitmen besarnya untuk ASEAN.
Masih lekat di benak sejumlah orang yang
berhubungan dekat dengannya bagaimana bersemangatnya Ali dalam
perundingan-perundingan panjang menyusun embrio Piagam ASEAN di kawasan
Ubud, Bali, sebagai salah satu anggota EPG Indonesia.
Ali Alatas diusianya yang ke 74 saat itu
masih sangat sehat untuk memimpin para diplomat muda bernegosiasi
mengenai cikal bakal aturan hukum yang akan mengikat 10 negara anggota
ASEAN.
Tokoh yang dikenal ramah itu hampir tidak pernah terlihat lelah setiap kali keluar dari ruang perundingan.
“Ada apa lagi?”
Begitu selalu sapanya, setiap kali
menyaksikan puluhan wartawan baik lokal maupun asing menyerbunya dengan
pertanyaan-pertanyaan yang berkutat pada “akankah ASEAN memiliki suatu
mekanisme HAM tersendiri”.
Bukan rahasia lagi jika, perlindungan HAM
adalah salah satu titik lemah ASEAN yang memberi citra tidak bagus bagi
organisasi itu di kancah internasional. Memburuknya kasus perlindungan
HAM di Myanmar adalah salah satu sasaran empuk pihak barat untuk
mempertanyakan eksistensi ASEAN.
Pada saat itu, sekalipun tidak secara
terbuka menyatakan ASEAN akan memiliki suatu badan HAM, tapi Ali Alatas
dengan optimis mengatakan ASEAN bukan jenis organisasi yang
menomorduakan perlindungan HAM.
Dan sebuah senyum yang selalu menghiasi
wajah Ali Alatas dalam setiap pertanyaan menyudutkan tentang memburuknya
kondisi di Myanmar, seakan menjadi satu pertanda terwujudnya sesuatu
yang awalnya dinilai sangat sulit dilakukan Asia Tenggara. Sesuatu hal
itu bernama Badan HAM ASEAN. Suatu hal yang mencengangkan sejumlah
pihak.
“Diplomasi itu seperti bermain kartu. Jangan tunjukkan semua kartu kepada orang lain. Dan jatuhkan kartu itu satu per satu.”
Itu adalah sebaris kalimat bijak Ali Alatas yang mungkin menjadi
rahasia di balik setiap optimismenya dalam menghadapi nada-nada
pesimistis pada perjuangan diplomasi.
Mantan Menlu Indonesia periode 1988-1999
itu sesungguhnya bukan satu-satunya orang yang disebut “tokoh ulung”
ASEAN dalam kelompok yang menamakan dirinya sebagai EPG ASEAN untuk
menyusun rekomendasi Piagam ASEAN, namun tanpa mengecilkan kontribusi
para tokoh ulung yang lain, pendapat seorang Ali Alatas mengenai satu
batu sandungan penting bagi ASEAN sudah tentu perlu untuk didengar.
Optimisme Ali Alatas pada masa depan
ASEAN dengan pengesahan Piagam ASEAN bahkan masih terungkap pada Juli
2008 lalu saat ia menghadiri diskusi pakar bertema “The Road to
Ratification and Implementation of the ASEAN Charter: Its Strengths and
Weaknesses”, yang diselenggarakan The Habibie Center dan ASEAN Studies
Center, Institut Studi Asia Tenggara (ISEAS).
“Kekurangan dalam Piagam ASEAN bisa
sambil jalan diperbaki,” katanya tanpa mampu menyembunyikan binar
optimisme dibalik lensa kacamatanya.
Pada 15 Desember 2008, sepuluh Menlu
ASEAN –Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei,
Kamboja, Vietnam, Laos, dan Myanmar– akan berkumpul di Sekretariat ASEAN
Jakarta untuk mensahkan pemberlakuan piagam yang semula diragukan akan
betul-betul dapat disahkan sesuai rencana penghujung 2008 mengingat
hingga medio November tiga negara kunci –Filipina, Indonesia dan
Thailand– masih juga belum mendepositkan instrumen ratifikasi kepada
Sesjen ASEAN dan memburuknya krisis politik di Thailand –ketua ASEAN
periode 2008-2009– yang berakibat pada tertundanya penyelenggaraan
pertemuan puncak ke-14 ASEAN di Chiang Mai.
Suatu peristiwa bersejarah bagi ASEAN
yang sayangnya harus dilewatkan oleh seorang Ali Alatas, yang telah
mencurahkan masa-masa terbaiknya demi kelangsungan keluarga besar ASEAN.
Dan dengan segala tantangan yang menghadang –diantaranya krisis politik
Thailand, macetnya peta jalan demokrasi Myanmar, sengketa Preh Vihear
Thailand-Kamboja– di bawah bayang-bayang ancaman krisis keuangan global,
ASEAN harus menyongsong masa depan tanpa pernah lagi dapat mendengar
pendapat dari salah seorang “tokoh ulung”-nya.
Empat puluh satu tahun Ali Alatas menjadi
pelaku sekaligus saksi sejarah perjalanan panjang dan jatuh bangun
ASEAN. Kini, tiba saatnya “singa tua” itu beristirahat untuk kemudian
menjadi bagian dari catatan sejarah ASEAN itu sendiri sebagaimana
pendahulunya yang tak kalah besar, Adam Malik.
Sekian Terimakasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar